Ekspor-Impor Indonesia di ASEAN
JPNN.COM – Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan segera diberlakukan pada tanggal 31 Desember 2015. Dampak dari MEA adalah terciptanya pasar bebas barang dan jasa, serta tenaga kerja di negara-negara kawasan ASEAN.
Dengan diberlakukannya MEA, akan memberikan peluang bagi seluruh negara ASEAN untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya masing-masing. MEA juga menjadi tantangan bagi setiap negara untuk dapat menyelesaikan permasalahan ekonomi negaranya masing-masing, supaya tidak kalah bersaing dengan negara lainnya.
Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan kondisi perekonomian suatu negara yang dihitung berdasarkan Gross Domestic Product (GDP). Gross Domestic Product (GDP) diartikan sebagai nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan dari berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam kurun waktu satu tahun.
GDP dihitung berdasarkan beberapa komponen, salah satunya adalah ekspor neto yang merupakan selisih antara ekspor dan impor. Besarnya nilai ekspor berbanding lurus dengan GDP, sedangkan besarnya nilai impor berbanding terbalik dengan GDP. Oleh karena itu, semakin besar nilai ekspor, maka nilai GDP akan semakin besar. Sedangkan semakin besar nilai impor, maka nilai GDP akan semakin kecil
Grafik 1 sesuai data World Bank, pada tahun 2003 nilai ekspor Indonesia sebesar USD 72 milyar dan impor sebesar USD 54 milyar.
Nilai ekspor-impor Indonesia hingga tahun 2008 terus meningkat dengan nilai masing-masing USD 152 milyar dan USD 147 milyar. Namun memasuki tahun 2009 neraca perdagangan Indonesia mengalami penurunan drastis walaupun masih terhitung surplus perdagangan sebesar USD 5 milyar.
Pada tahun 2009 tersebut terjadi penurunan nilai ekspor 14% dan impor 21% dari tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008. Melemahnya harga komoditi dan volume perdagangan di pasar internasional berdampak pada penurunan nilai ekspor Indonesia. Krisis ekonomi tersebut juga mengakibatkan peningkatan impor ke Indonesia yang cukup tinggi tahun 2008, sehingga menyebabkan inflasi tinggi.
Pada tahun 2010 dan 2011, ekspor-impor Indonesia kembali meningkat secara signifikan. Namun pada tahun 2012-2013 kembali mengalami penurunan sebesar 4,5% dan angka impornya menjadi lebih tinggi, yang disebabkan karena terjadi penurunan harga komoditi.
Nilai impor Indonesia pada tahun 2012-2013 lebih besar ketimbang nilai ekspor sehingga menyebabkan defisit neraca perdagangan.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, maka nilai ekspor Indonesia masih terhitung rendah.
Malaysia memiliki jumlah penduduk lebih sedikit daripada Indonesia, namun memiliki nilai ekspor yang rasionya mencapai 100% dari GDPnya. Pada tahun 2003, nilai ekspor Malaysia mencapai USD 118 milyar, sedangkan nilai impornya USD 96 milyar, terlihat di Grafik 3. Nilai ekspor-impor Malaysia terus meningkat hingga tahun 2008. Malaysia juga terkena dampak krisis ekonomi global yang mengakibatkan nilai ekspor impornya menurun di tahun 2009, namun kembali meningkat di tahun 2010. Pada tahun 2012 dan 2013, nilai ekspor Malaysia menurun, sedangkan impornya terus meningkat. Walaupun begitu, Malaysia tetap mengalami surplus neraca perdagangan.
Di sisi lain, Thailand memiliki nilai ekspor-impor yang terus meningkat dari tahun 2003 hingga 2008. Namun pada tahun 2009, nilai ekspor-impor Thailand menurun, dan kembali normal pada tahun 2010. Pada tahun 2013, nilai ekspor-impor Thailand maing-masing sebesar USD 285 milyar dan USD 272 milyar. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun 2008, namun rasio ekspor-impornya terhadap GDP menurun menjadi 74% dan 70%, dibandingkan tahun 2008 rasio ekspor-impornya sebesar 76% dan 74%. Perlu diketahui, GDP Thailand pada tahun 2008 sebesar USD 273 milyar dan tahun 2013 sebesar USD 387 milyar.
Singapura memiliki nilai ekspor-impor yang paling tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, rasionya mencapai 200%. Singapura mengimpor produk bahan mentah dari berbagai negara, terutama Cina dan Malaysia, yang kemudian diolah dan diekspor ke negara-negara lainnya. Produk utama yang diimpor Singapura antara lain migas dan barang-barang elektronik (Simoes)
Sesuai hasil wawancara dengan Bp. Martin Tjahjono, Ph.D, Wakil Rektor I Surya University, menyampaikan bahwa tingginya ekspor-impor Singapura dikarenakan posisinya yang strategis sehingga menjadi pusat perdagangan internasional di ASEAN. Proses birokrasi Singapura juga lebih singkat dibandingkan dengan negara lain. Disamping itu, Singapura memiliki standarisasi produk, sehingga produk yang diperdagangkan menjadi terpercaya (Tjahjono, 2015). Faktor lain penyebab tingginya nilai ekspor Singapura adalah infrastruktur yang canggih dan efisien, serta tenaga kerja yang terampil dan berpengalaman.
Berdasarkan analisa di atas memberi gambaran peluang maupun tantangan yang dimiliki Indonesia dalam menghadapi MEA. Tantangan tersebut diantaranya rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dimiliki, kualitas infrastruktur yang masih kurang, serta kebijakan Indonesia dalam menghadapi serbuan arus impor dari negara-negara lain, seperti Cina dan Jepang.
Ada beberapa hal yang harus dipersiapkan Indonesia untuk menghadapai MEA. Salah satunya dari segi pemerintah dan birokrasi, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur agar mempermudah proses ekspor-impor, Selain itu, pemerintah juga perlu mempersingkat birokrasi untuk perizinan perusahaan sehingga dapat tercipta industri-industri yang akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dari segi pendidikan, mutu pendidikan harus ditingkatkan dengan cara peninjauan kurikulum, dan menekan biaya pendidikan agar dapat terjangkau masyarakat.
Jika ditinjau dari segi ekonomi kreatif, masyarakat harus mulai menanamkan jiwa kewirausahaan agar tercipta masyarakat mandiri Indonesia. (***)
Oleh :
Siti Aisyah Ningrum
Stevany Mangundap
Vivian Limas
Yunike Wulage
Mahasiswa Program Studi Green Economy Riset Mahasiswa di Global Business Strategy Center (Lab) SURYA UNIVERSITY
email:greeneconomy@surya.ac.id