Results for category "Artikel Ekspor Impor"

41 Articles

Transaksi di Pelabuhan Wajib Gunakan Rupiah Mulai Hari Ini

TEMPO.CO, Surabaya – Peraturan Bank Indonesia mengenai penggunaan mata uang Rupiah di wilayah Republik Indonesia resmi diberlakukan di pelabuhan. PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III menyatakan siap mengimplementasikan peraturan tersebut di wilayahnya mulai hari ini, 1 Juli 2015.

“Sesuai arahan Gubernur Bank Indonesia (Agus Martowardojo) dalam rapat koordinasi sebelumnya di Jakarta, Pelindo III merespons cepat kebijakan dengan segera mengadakan sosialisasi yang diikuti oleh para pejabat struktural terkait dan sejumlah direksi anak perusahaan Pelindo III di Kantor Pusat di Surabaya, Jawa Timur,” kata General Manager Pelindo III Cabang Tanjung Perak Eko Harijadi Budijanto di kantornya, Selasa 30 Juni 2015.

Sesuai surat Direksi dan kesepakatan antara Pelindo I, II, III, dan IV, rencananya akan dilakukan sentralisasi entry kurs valas harian. Acuannya adalah kurs jual penutupan BI satu hari sebelum pelayanan selesai. “Jadi mulai 1 Juli, segala transaksi pelayanan jasa luar negeri wajib menggunakan rupiah. Nota tagihan juga akan didenominasikan dalam rupiah,” ujar Eko.

Sosialisasi hanya penggunaan rupiah, menurut Eko, sudah dilakukan sejak setahun lalu. Untuk selanjutnya penghitungan jasa kepelabuhanan luar negeri akan menggunakan acuan tarif saat ini (valas) dengan kurs transaksi jual penutupan BI satu hari sebelumnya. “Langkah penyesuaian lainnya ialah modifikasi aplikasi SIUK untuk formulasi penghitungan nota tagihan (pra nota).”

Selain penggunaan rupiah, eraturan BI Nomor 17/3/PBI/2015 dan Surat Edaran Nomor 17/11/DKSP tahun 2015 juga mengatur tentang kewajiban pencantuman harga (kuotasi) barang dan/atau jasa hanya dalam rupiah. Diantaranya pula diatur tentang larangan menolak rupiah dan sanksinya. Pengecualian kewajiban penggunaan rupiah dan pengecualian transaksi non-tunai menggunakan rupiah ditetapkan harus atas persetujuan BI.
.
Untuk mengantisipasi regulasi tersebut, dilakukan kebijakan perlindungan nilai (hedging) untuk kebutuhan pendanaan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat (AS). “Pelindo III tengah menyiapkan Kebijakan Lindung Nilai dan SOP (standard of procedure) lindung nilai tersebut,” kata Direktur Keuangan Pelindo III, Saefudin Noer.

Saefudin optimis bahwa penyesuaian yang dilakukan Pelindo III dapat berjalan baik. Ia menambahkan perlunya ada masa transisi agar pengguna jasa tidak bingung. “Oleh karena itu akan terus dilaksanakan sosialisasi kepada seluruh stakeholder Pelindo III, utamanya terkait pelayanan luar negeri,” kata dia.

Ekspor-Impor Indonesia di ASEAN

JPNN.COM – Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan segera diberlakukan pada tanggal 31 Desember 2015. Dampak dari MEA adalah terciptanya pasar bebas barang dan jasa, serta tenaga kerja di negara-negara kawasan ASEAN.

Dengan diberlakukannya MEA, akan memberikan peluang bagi seluruh negara ASEAN untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya masing-masing. MEA juga menjadi tantangan bagi setiap negara untuk dapat menyelesaikan permasalahan ekonomi negaranya masing-masing, supaya tidak kalah bersaing dengan negara lainnya.

Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan kondisi perekonomian suatu negara yang dihitung berdasarkan Gross Domestic Product (GDP). Gross Domestic Product (GDP) diartikan sebagai nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan dari berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam kurun waktu satu tahun.

GDP dihitung berdasarkan beberapa komponen, salah satunya adalah ekspor neto yang merupakan selisih antara ekspor dan impor. Besarnya nilai ekspor berbanding lurus dengan GDP, sedangkan besarnya nilai impor berbanding terbalik dengan GDP. Oleh karena itu, semakin besar nilai ekspor, maka nilai GDP akan semakin besar. Sedangkan semakin besar nilai impor, maka nilai GDP akan semakin kecil

Grafik 1 sesuai data World Bank, pada tahun 2003 nilai ekspor Indonesia sebesar USD 72 milyar dan impor sebesar USD 54 milyar.

Nilai ekspor-impor Indonesia hingga tahun 2008 terus meningkat dengan nilai masing-masing USD 152 milyar dan USD 147 milyar. Namun memasuki tahun 2009 neraca perdagangan Indonesia mengalami penurunan drastis walaupun masih terhitung surplus perdagangan sebesar USD 5 milyar.

Pada tahun 2009 tersebut terjadi penurunan nilai ekspor 14% dan impor 21% dari tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008. Melemahnya harga komoditi dan volume perdagangan di pasar internasional berdampak pada penurunan nilai ekspor Indonesia. Krisis ekonomi tersebut juga mengakibatkan peningkatan impor ke Indonesia yang cukup tinggi tahun 2008, sehingga menyebabkan inflasi tinggi.

Pada tahun 2010 dan 2011, ekspor-impor Indonesia kembali meningkat secara signifikan. Namun pada tahun 2012-2013 kembali mengalami penurunan sebesar 4,5% dan angka impornya menjadi lebih tinggi, yang disebabkan karena terjadi penurunan harga komoditi.

Nilai impor Indonesia pada tahun 2012-2013 lebih besar ketimbang nilai ekspor sehingga menyebabkan defisit neraca perdagangan.

Jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, maka nilai ekspor Indonesia masih terhitung rendah.

Malaysia memiliki jumlah penduduk lebih sedikit daripada Indonesia, namun memiliki nilai ekspor yang rasionya mencapai 100% dari GDPnya. Pada tahun 2003, nilai ekspor Malaysia mencapai USD 118 milyar, sedangkan nilai impornya USD 96 milyar, terlihat di Grafik 3. Nilai ekspor-impor Malaysia terus meningkat hingga tahun 2008. Malaysia juga terkena dampak krisis ekonomi global yang mengakibatkan nilai ekspor impornya menurun di tahun 2009, namun kembali meningkat di tahun 2010. Pada tahun 2012 dan 2013, nilai ekspor Malaysia menurun, sedangkan impornya terus meningkat. Walaupun begitu, Malaysia tetap mengalami surplus neraca perdagangan.

Di sisi lain, Thailand memiliki nilai ekspor-impor yang terus meningkat dari tahun 2003 hingga 2008. Namun pada tahun 2009, nilai ekspor-impor Thailand menurun, dan kembali normal pada tahun 2010. Pada tahun 2013, nilai ekspor-impor Thailand maing-masing sebesar USD 285 milyar dan USD 272 milyar. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun 2008, namun rasio ekspor-impornya terhadap GDP menurun menjadi 74% dan 70%, dibandingkan tahun 2008 rasio ekspor-impornya sebesar 76% dan 74%. Perlu diketahui, GDP Thailand pada tahun 2008 sebesar USD 273 milyar dan tahun 2013 sebesar USD 387 milyar.

Singapura memiliki nilai ekspor-impor yang paling tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, rasionya mencapai 200%. Singapura mengimpor produk bahan mentah dari berbagai negara, terutama Cina dan Malaysia, yang kemudian diolah dan diekspor ke negara-negara lainnya. Produk utama yang diimpor Singapura antara lain migas dan barang-barang elektronik (Simoes)

Sesuai hasil wawancara dengan Bp. Martin Tjahjono, Ph.D, Wakil Rektor I Surya University, menyampaikan bahwa tingginya ekspor-impor Singapura dikarenakan posisinya yang strategis sehingga menjadi pusat perdagangan internasional di ASEAN. Proses birokrasi Singapura juga lebih singkat dibandingkan dengan negara lain. Disamping itu, Singapura memiliki standarisasi produk, sehingga produk yang diperdagangkan menjadi terpercaya (Tjahjono, 2015). Faktor lain penyebab tingginya nilai ekspor Singapura adalah infrastruktur yang canggih dan efisien, serta tenaga kerja yang terampil dan berpengalaman.

Berdasarkan analisa di atas memberi gambaran peluang maupun tantangan yang dimiliki Indonesia dalam menghadapi MEA. Tantangan tersebut diantaranya rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dimiliki, kualitas infrastruktur yang masih kurang, serta kebijakan Indonesia dalam menghadapi serbuan arus impor dari negara-negara lain, seperti Cina dan Jepang.

Ada beberapa hal yang harus dipersiapkan Indonesia untuk menghadapai MEA. Salah satunya dari segi pemerintah dan birokrasi, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur agar mempermudah proses ekspor-impor, Selain itu, pemerintah juga perlu mempersingkat birokrasi untuk perizinan perusahaan sehingga dapat tercipta industri-industri yang akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dari segi pendidikan, mutu pendidikan harus ditingkatkan dengan cara peninjauan kurikulum, dan menekan biaya pendidikan agar dapat terjangkau masyarakat.

Jika ditinjau dari segi ekonomi kreatif, masyarakat harus mulai menanamkan jiwa kewirausahaan agar tercipta masyarakat mandiri Indonesia. (***)

Oleh :
Siti Aisyah Ningrum
Stevany Mangundap
Vivian Limas
Yunike Wulage

Mahasiswa Program Studi Green Economy Riset Mahasiswa di Global Business Strategy Center (Lab) SURYA UNIVERSITY
email:greeneconomy@surya.ac.id

Industri Ekspor RI Menanti Paket Kebijakan Ekonomi

Jakarta, Transformasi—Kemerosotan daya saing menjadi persoalan besar yang kini dihadapi Indonesia dalam pengembangan industri nasional padat karya berorientasi ekspor. Kemerosotan tersebut terletak pada empat pokok permasalahan, yakni ketenagakerjaan, perizinan, infrastruktur, dan akses pasar internasional.

Karena itu, kalangan dunia usaha menunggu realisasi janji pemerintah mengeluarkan paket kebijakan untuk mengatasi problem tersebut. Paket kebijakan tersebut juga diharapkan menjadi solusi bagi perbaikan iklim investasi dan mampu mendorong upaya penciptaan lapangan kerja yang lebih baik.

Ragam persoalan dan harapan tersebut mengemuka dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Strategi dan Dukungan Kebijakan Pengembangan Industri Nasional Padat Karya dan Berorientasi Ekspor” di Kantor Kementerian bidang Perekonomian, Jakarta, pekan lalu. Acara tersebut dihadiri sejumlah pelaku industri padat karya nasional dan perwakilan beberapa asosiasi industri nasional, perwakilan Kementerian Perekonomian, Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Dalam Negeri.

Kegiatan yang merupakan hasil kerjasama antara Transformasi dan Kemenko Perekonomian tersebut juga dihadiri Menko Perekonomian Sofyan Djalil, yang memberikan sambutan dan menyempatkan diri berdialog dengan para pelaku usaha. Dari FGD ini diinventarisasi masukan-masukan dari kalangan dunia usaha sebagai bahan penyusunan paket kebijakan ekonomi pemerintah.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat, mengungkapkan, dalam 10 tahun terakhir Indonesia kian tertinggal dari negara-negara pesaing utama, terutama Vietnam. Dia mencontohkan, Vietnam yang baru memulai industri tekstil sejak tahun 2000, kini mampu meraup nilai ekspor sebesar 25 miliar dollar AS atau dua kali lipat dari capaian ekspor tekstil Indonesia yang dalam lima tahun terakhir hanya berkutat pada angka 12 miliar dollar AS.

“Kunci persoalannya adalah kita sudah kehilangan daya saing cukup berat. Negara-negara pesaing memiliki iklim investasi yang lebih sehat, harga listrik yang kompetitif, infrastruktur memadai, kepastian dalam sektor ketenagakerjaan, penciptaan akses ekspor yang lebih baik. Dalam 10 tahun terakhir, kita tak segera memulai memperbaiki diri,” kata dia.

Upah dan demo buruh

Di sektor ketenagakerjaan, kebijakan upah menjadi persoalan utama. Peningkatan upah hingga 40 persen sangat memberatkan industri. Kenaikan upah selama ini lebih bernuansa politis untuk kepentingan elite-elite politik di daerah, bukan murni didasarkan kepada kebutuhan hidup layak (KHL) yang diukur sesuai tingkat inflasi riil. Pemerintah perlu membuat kepastian, setidaknya hingga lima tahun kedepan terkait upah minimum, dengan mengukur kenaikan inflasi dan harga bahan pokok. Dengan cara itu, penentuan upah tak lagi bertele-tele dan memakan waktu seperti selama ini.

Selain masalah upah, sektor ketenagakerjaan juga dihadapkan pada kerawanan terjadinya demo buruh dan mogok kerja. Seringkali demo berlangsung hingga berbulan-bulan, sehingga menghambat produktivitas. Negosiasi buruh dan perusahaan kerap mentok karena umumnya buruh lebih memilih dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK), agar mendapatkan pesangon senilai 27 kali gaji pokok.

“Angka pesangon yang begitu tinggi ini menyebabkan demoralisasi dan ketidakproduktifan pekerja. Di Vietnam, pesangon hanya 16 kali dari gaji. Indonesia sangat tinggi, hingga 27 kali. Hal ini perlu ditinjau ulang, jika tidak daya saing industri Indonesia makin terpuruk,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Mebel dan Kerajinan Indonesia, Nur Cahyadi.

Di sejumlah negara industri, seperti Tiongkok, upah minimum, bahkan, tak lagi diterapkan. Pasalnya, perusahaan umumnya sudah mampu membayar di atas rata-rata. Jika produktivitas dan kualitas tenaga kerja kita baik, sebenarnya tidak menjadi masalah bagi pengusaha untuk membayar gaji yang relatif tinggi.

“Di Tiongkok, perusahaan tak berani membayar murah karena takut ditinggal karyawannya. Tapi, di sana produktivitas karyawan tinggi dan rata-rata pendidikannya lebih baik daripada pekerja di Indonesia. Ini yang ke depan perlu diperbaiki di Indonesia,” ungkap, Ketua Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI) Sudarman Wijaya.

One service stop

Perizinan menjadi problem berikutnya. Izin HO (gangguan), misalnya, selama ini seringkali menjadi penghambat ekspor. Pasalnya, pemberian izinnya memakan waktu relatif lama, dari berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Padahal, izin HO menjadi salah stau syarat untuk mengurus perizinan ekspor. Kerapkali izin HO ini dimanfaatkan oknum pegawai atau pejabat di pemerintahan untuk meminta pungutan liar.

“Izin HO ini dikeluarkan oleh pemerintah kota atau kabupaten. Padahal, sudah ada amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Jika memang ingin mendorong ekspor, semestinya izin HO di kabupaten dan kota ini dihapus,” kata Nur Cahyadi.

Slogan one stop service dalam layanan perizinan usaha, lanjut Nur, dalam praktiknya belum terimplementasi sesuai harapan. Dia mencontohkan, izin lokasi dan rekomendasi harus dihadiri oleh bupati, camat, hingga lurah. Bila salah satu tak hadir, maka rapat untuk memroses izin tersebut harus diundur. Dalam praktiknya, proses tersebut bisa memakan waktu berbulan-bulan. Tak jarang, untuk sekadar minta tanda tangan persetujuan dari kepala desa, pengusaha harus mengeluarkan dana puluhan juta.

“Jadi, yang terjadi di lapangan saat ini seringnya bukan one stop service, tapi one service stop,” sambung Nur, yang juga pemilik PT Kurnia Anggun, eksportir mebel dan kerajinan asal Surabaya.

Infrastruktur adalah problem yang selama bertahun-tahun nyaris tak tersentuh perbaikan. Harga listrik, misalnya, Indonesia saat ini menjadi yang tertinggi di Asia, yaitu sebesar 11 sen per KwH. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibanding harga listrik di Vietnam dan Korea Selatan yang masing-masing sebesar 6 per KwH.

“Listrik adalah faktor yang sangat menentukan bagi daya saing industri padat karya. Jika harganya mahal, kita pasti terpuruk. Bukan hanya masalah harga, pasokan kita juga terbatas. Kalau bersaing, buat tarif listrik kompetitif dan pasokan yang cukup,” kata Ade.

Selain listrik, persoalan infrastruktur lainnya yang menghambat daya saing adalah jalan rusak, ketersediaan jalur kereta api barang ke pelabuhan yang masih minim, kelengkapan fasilitas penunjang untuk kawasan industri, dan biaya transportasi yang masih tinggi.

Akses pasar juga menjadi masalah yang perlu segera diselesaikan. Banyak industri dalam negeri yang memiliki potensi untuk menjangkau pasar ekspor yang lebih luas kesulitan mendapatkan akses pasar internasional. Hal ini karena Indonesia belum menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan sejumlah negara di beberapa kawasan yang potensial, seperti Eropa dan Turki. “Saya yakin, jika perdagangan bebas ini dibuka, kita bisa mendorong ekspor produk tekstil bisa meningkat lima kali lipat,” kata Ade.

Dalam kesempatan itu, para pengusaha dan perwakilan asosiasi sangat berharap pemerintah segera merealisasikan paket kebijakan ekonomi. Mereka berharap paket kebijakan tersebut mencakup solusi-solusi atas persoalan penurunan daya saing industri manufaktur ekspor saat ini.

“Kami dunia usaha mendukung 100 persen paket kebijakan terkait masalah industri padat karya, termasuk yang berbasis investasi asing seperti kami,” ujar Iskandar Surya dari PT Lung Cheong Brother Industry, perusahaan penanaman modal asing, yang sejak beberapa tahun terakhir mengembangkan usaha boneka dan mainan anak-anak untuk tujuan ekspor.

Indonesia, lanjut Iskandar, memiliki kesempatan menarik investor yang lebih besar dalam 10-15 tahun ini. Tapi, jika pemerintah tak membuat kebijakan yang lebih baik di sektor ekonomi, terutama mengurangi hambatan birokrasi, investor akan beralih ke negara-negara lain yang lebih menjanjikan.

April disahkan

Pada kesempatan tersebut, Sofyan Djalil mengungkapkan, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sangat mendukung pemberian kemudahan berinvestasi bagi swasta. Saat ini, pemerintah sedang merevisi kebijakan-kebijakan ekonomi terkait pengembangan industri nasional agar lebih baik lagi.

Mengenai paket kebijakan ekonomi, pemerintah akan mengesahkannya pada bulan April 2015. Masukan-masukan dari dunia usaha sangat dibutuhkan agar paket kebijakan ekonomi tersebut sesuai kebutuhan pengembangan sektor industri padat karya berorientasi ekspor, serta menarik investasi lebih besar lagi.

“Yang terpenting bagi kita terkait investasi ini adalah menciptakan lapangan kerja, ada modal minimum untuk berinvestasi, dan kandungan lokal,” tandas Sofyan.

Deputi Kepala Bappenas bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil Menengah, Rahma Iryanti, menambahkan, pada bukan April 2015, pemerintah akan mengeluarkan kebijakan pemberian insentif bagi perusahaan padat karya berorientasi ekspor. Fokus pemerintah saat adalah memaksimalkan kawasan industri untuk menciptakan lapangan kerja. Hal-hal lain yang juga menjadi perhatian adalah penyelesaian masalah antara kawasan industri satu dan yang lain, serta kemudahan untuk memperluas akses pasar.

“HS (harmonized system) code berbeda antarnegara, sehingga bermasalah ketika perusahaan akan melakukan ekspor. Hal ini yang akan kami coba cari solusinya,” imbuh Rahma.

Bersama Centre Strategic for International Studies (CSIS), Bappenas juga mengadakan survei yang mendukung penelitian yang telah tertuang dalam buku “Pilihan Ekonomi yang Dihadapi Presiden Baru” yang diterbitkan Transformasi tahun 2014 lalu. Survei ini terkait juga dengan penciptaan lapangan kerja dan industri padat karya berorientasi ekspor. Salah satu poin permasalahan dalam penelitian ini adalah keuntungan industri padat karya yang hanya 5 persen

(HAN-Transformasi)

Ekstensifikasi Pajak, Minuman Bersoda Perlu Dikenakan Cukai

JPNN.COM, JAKARTA – Pemerintah dituntut lebih kreatif untuk memenuhi target penerimaan pajak. Salah satu cara yang harus ditempuh adalah Perluasan wajib pajak atau ekstensifikasi pajak. Tidak sekadar mengintensifkan target pajak yang sudah ada.

Staf khusus Wakil Presiden, Sofjan Wanandi beberapa waktu lalu mengusulkan agar pemerintah lebih kreatif dalam memungut dan menetapkan target pajak baru. Pernyataan ini disampaikan terkait dengan target pajak sekitar Rp 1.439,7 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.

Ditegaskan Sofjan, untuk menggenjot pajak atau cukai tidak bisa dari jenis perusahaan tertentu saja, semisal industri hasil tembakau. Cukai bisa digenjot dari jenis usaha lain seperti soda atau minuman beralkohol. Read More →

Ekspor Bali Capai USD129,53 Juta

Metrotvnews.com, Denpasar : Bali menghasilkan devisa sebesar USD129,53 juta dari pengapalan berbagai jenis matadagangan selama tiga bulan bulan periode Januari-Maret 2015, menurun 3,21 persen  dibanding periode yang sama tahun sebelumnya USD133,82 juta.

“Perolehan devisa tersebut ditopang hasil industri kecil dan kerajinan rumah tangga yang berkembang di daerah ini,” kata  Kepala  Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi  Bali Panusunan Siregar di Denpasar, Rabu (6/5/2015).

Dia mengatakan, khusus ekspor pada bulan Maret 2015 yang dikirim melalui sejumlah pelabuhan di Indonesia menghasilkan devisa sebesar USD50,51 juta, naik 23,42 persen dibanding bulan sebelumnya (Februari 2015) yang tercatat USD40,93 juta. Read More →