Jakarta, Transformasi—Kemerosotan daya saing menjadi persoalan besar yang kini dihadapi Indonesia dalam pengembangan industri nasional padat karya berorientasi ekspor. Kemerosotan tersebut terletak pada empat pokok permasalahan, yakni ketenagakerjaan, perizinan, infrastruktur, dan akses pasar internasional.
Karena itu, kalangan dunia usaha menunggu realisasi janji pemerintah mengeluarkan paket kebijakan untuk mengatasi problem tersebut. Paket kebijakan tersebut juga diharapkan menjadi solusi bagi perbaikan iklim investasi dan mampu mendorong upaya penciptaan lapangan kerja yang lebih baik.
Ragam persoalan dan harapan tersebut mengemuka dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Strategi dan Dukungan Kebijakan Pengembangan Industri Nasional Padat Karya dan Berorientasi Ekspor” di Kantor Kementerian bidang Perekonomian, Jakarta, pekan lalu. Acara tersebut dihadiri sejumlah pelaku industri padat karya nasional dan perwakilan beberapa asosiasi industri nasional, perwakilan Kementerian Perekonomian, Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Dalam Negeri.
Kegiatan yang merupakan hasil kerjasama antara Transformasi dan Kemenko Perekonomian tersebut juga dihadiri Menko Perekonomian Sofyan Djalil, yang memberikan sambutan dan menyempatkan diri berdialog dengan para pelaku usaha. Dari FGD ini diinventarisasi masukan-masukan dari kalangan dunia usaha sebagai bahan penyusunan paket kebijakan ekonomi pemerintah.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat, mengungkapkan, dalam 10 tahun terakhir Indonesia kian tertinggal dari negara-negara pesaing utama, terutama Vietnam. Dia mencontohkan, Vietnam yang baru memulai industri tekstil sejak tahun 2000, kini mampu meraup nilai ekspor sebesar 25 miliar dollar AS atau dua kali lipat dari capaian ekspor tekstil Indonesia yang dalam lima tahun terakhir hanya berkutat pada angka 12 miliar dollar AS.
“Kunci persoalannya adalah kita sudah kehilangan daya saing cukup berat. Negara-negara pesaing memiliki iklim investasi yang lebih sehat, harga listrik yang kompetitif, infrastruktur memadai, kepastian dalam sektor ketenagakerjaan, penciptaan akses ekspor yang lebih baik. Dalam 10 tahun terakhir, kita tak segera memulai memperbaiki diri,” kata dia.
Upah dan demo buruh
Di sektor ketenagakerjaan, kebijakan upah menjadi persoalan utama. Peningkatan upah hingga 40 persen sangat memberatkan industri. Kenaikan upah selama ini lebih bernuansa politis untuk kepentingan elite-elite politik di daerah, bukan murni didasarkan kepada kebutuhan hidup layak (KHL) yang diukur sesuai tingkat inflasi riil. Pemerintah perlu membuat kepastian, setidaknya hingga lima tahun kedepan terkait upah minimum, dengan mengukur kenaikan inflasi dan harga bahan pokok. Dengan cara itu, penentuan upah tak lagi bertele-tele dan memakan waktu seperti selama ini.
Selain masalah upah, sektor ketenagakerjaan juga dihadapkan pada kerawanan terjadinya demo buruh dan mogok kerja. Seringkali demo berlangsung hingga berbulan-bulan, sehingga menghambat produktivitas. Negosiasi buruh dan perusahaan kerap mentok karena umumnya buruh lebih memilih dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK), agar mendapatkan pesangon senilai 27 kali gaji pokok.
“Angka pesangon yang begitu tinggi ini menyebabkan demoralisasi dan ketidakproduktifan pekerja. Di Vietnam, pesangon hanya 16 kali dari gaji. Indonesia sangat tinggi, hingga 27 kali. Hal ini perlu ditinjau ulang, jika tidak daya saing industri Indonesia makin terpuruk,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Mebel dan Kerajinan Indonesia, Nur Cahyadi.
Di sejumlah negara industri, seperti Tiongkok, upah minimum, bahkan, tak lagi diterapkan. Pasalnya, perusahaan umumnya sudah mampu membayar di atas rata-rata. Jika produktivitas dan kualitas tenaga kerja kita baik, sebenarnya tidak menjadi masalah bagi pengusaha untuk membayar gaji yang relatif tinggi.
“Di Tiongkok, perusahaan tak berani membayar murah karena takut ditinggal karyawannya. Tapi, di sana produktivitas karyawan tinggi dan rata-rata pendidikannya lebih baik daripada pekerja di Indonesia. Ini yang ke depan perlu diperbaiki di Indonesia,” ungkap, Ketua Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI) Sudarman Wijaya.
One service stop
Perizinan menjadi problem berikutnya. Izin HO (gangguan), misalnya, selama ini seringkali menjadi penghambat ekspor. Pasalnya, pemberian izinnya memakan waktu relatif lama, dari berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Padahal, izin HO menjadi salah stau syarat untuk mengurus perizinan ekspor. Kerapkali izin HO ini dimanfaatkan oknum pegawai atau pejabat di pemerintahan untuk meminta pungutan liar.
“Izin HO ini dikeluarkan oleh pemerintah kota atau kabupaten. Padahal, sudah ada amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Jika memang ingin mendorong ekspor, semestinya izin HO di kabupaten dan kota ini dihapus,” kata Nur Cahyadi.
Slogan one stop service dalam layanan perizinan usaha, lanjut Nur, dalam praktiknya belum terimplementasi sesuai harapan. Dia mencontohkan, izin lokasi dan rekomendasi harus dihadiri oleh bupati, camat, hingga lurah. Bila salah satu tak hadir, maka rapat untuk memroses izin tersebut harus diundur. Dalam praktiknya, proses tersebut bisa memakan waktu berbulan-bulan. Tak jarang, untuk sekadar minta tanda tangan persetujuan dari kepala desa, pengusaha harus mengeluarkan dana puluhan juta.
“Jadi, yang terjadi di lapangan saat ini seringnya bukan one stop service, tapi one service stop,” sambung Nur, yang juga pemilik PT Kurnia Anggun, eksportir mebel dan kerajinan asal Surabaya.
Infrastruktur adalah problem yang selama bertahun-tahun nyaris tak tersentuh perbaikan. Harga listrik, misalnya, Indonesia saat ini menjadi yang tertinggi di Asia, yaitu sebesar 11 sen per KwH. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibanding harga listrik di Vietnam dan Korea Selatan yang masing-masing sebesar 6 per KwH.
“Listrik adalah faktor yang sangat menentukan bagi daya saing industri padat karya. Jika harganya mahal, kita pasti terpuruk. Bukan hanya masalah harga, pasokan kita juga terbatas. Kalau bersaing, buat tarif listrik kompetitif dan pasokan yang cukup,” kata Ade.
Selain listrik, persoalan infrastruktur lainnya yang menghambat daya saing adalah jalan rusak, ketersediaan jalur kereta api barang ke pelabuhan yang masih minim, kelengkapan fasilitas penunjang untuk kawasan industri, dan biaya transportasi yang masih tinggi.
Akses pasar juga menjadi masalah yang perlu segera diselesaikan. Banyak industri dalam negeri yang memiliki potensi untuk menjangkau pasar ekspor yang lebih luas kesulitan mendapatkan akses pasar internasional. Hal ini karena Indonesia belum menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan sejumlah negara di beberapa kawasan yang potensial, seperti Eropa dan Turki. “Saya yakin, jika perdagangan bebas ini dibuka, kita bisa mendorong ekspor produk tekstil bisa meningkat lima kali lipat,” kata Ade.
Dalam kesempatan itu, para pengusaha dan perwakilan asosiasi sangat berharap pemerintah segera merealisasikan paket kebijakan ekonomi. Mereka berharap paket kebijakan tersebut mencakup solusi-solusi atas persoalan penurunan daya saing industri manufaktur ekspor saat ini.
“Kami dunia usaha mendukung 100 persen paket kebijakan terkait masalah industri padat karya, termasuk yang berbasis investasi asing seperti kami,” ujar Iskandar Surya dari PT Lung Cheong Brother Industry, perusahaan penanaman modal asing, yang sejak beberapa tahun terakhir mengembangkan usaha boneka dan mainan anak-anak untuk tujuan ekspor.
Indonesia, lanjut Iskandar, memiliki kesempatan menarik investor yang lebih besar dalam 10-15 tahun ini. Tapi, jika pemerintah tak membuat kebijakan yang lebih baik di sektor ekonomi, terutama mengurangi hambatan birokrasi, investor akan beralih ke negara-negara lain yang lebih menjanjikan.
April disahkan
Pada kesempatan tersebut, Sofyan Djalil mengungkapkan, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sangat mendukung pemberian kemudahan berinvestasi bagi swasta. Saat ini, pemerintah sedang merevisi kebijakan-kebijakan ekonomi terkait pengembangan industri nasional agar lebih baik lagi.
Mengenai paket kebijakan ekonomi, pemerintah akan mengesahkannya pada bulan April 2015. Masukan-masukan dari dunia usaha sangat dibutuhkan agar paket kebijakan ekonomi tersebut sesuai kebutuhan pengembangan sektor industri padat karya berorientasi ekspor, serta menarik investasi lebih besar lagi.
“Yang terpenting bagi kita terkait investasi ini adalah menciptakan lapangan kerja, ada modal minimum untuk berinvestasi, dan kandungan lokal,” tandas Sofyan.
Deputi Kepala Bappenas bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil Menengah, Rahma Iryanti, menambahkan, pada bukan April 2015, pemerintah akan mengeluarkan kebijakan pemberian insentif bagi perusahaan padat karya berorientasi ekspor. Fokus pemerintah saat adalah memaksimalkan kawasan industri untuk menciptakan lapangan kerja. Hal-hal lain yang juga menjadi perhatian adalah penyelesaian masalah antara kawasan industri satu dan yang lain, serta kemudahan untuk memperluas akses pasar.
“HS (harmonized system) code berbeda antarnegara, sehingga bermasalah ketika perusahaan akan melakukan ekspor. Hal ini yang akan kami coba cari solusinya,” imbuh Rahma.
Bersama Centre Strategic for International Studies (CSIS), Bappenas juga mengadakan survei yang mendukung penelitian yang telah tertuang dalam buku “Pilihan Ekonomi yang Dihadapi Presiden Baru” yang diterbitkan Transformasi tahun 2014 lalu. Survei ini terkait juga dengan penciptaan lapangan kerja dan industri padat karya berorientasi ekspor. Salah satu poin permasalahan dalam penelitian ini adalah keuntungan industri padat karya yang hanya 5 persen
(HAN-Transformasi)