Ekstensifikasi Pajak, Minuman Bersoda Perlu Dikenakan Cukai

JPNN.COM, JAKARTA – Pemerintah dituntut lebih kreatif untuk memenuhi target penerimaan pajak. Salah satu cara yang harus ditempuh adalah Perluasan wajib pajak atau ekstensifikasi pajak. Tidak sekadar mengintensifkan target pajak yang sudah ada.

Staf khusus Wakil Presiden, Sofjan Wanandi beberapa waktu lalu mengusulkan agar pemerintah lebih kreatif dalam memungut dan menetapkan target pajak baru. Pernyataan ini disampaikan terkait dengan target pajak sekitar Rp 1.439,7 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.

Ditegaskan Sofjan, untuk menggenjot pajak atau cukai tidak bisa dari jenis perusahaan tertentu saja, semisal industri hasil tembakau. Cukai bisa digenjot dari jenis usaha lain seperti soda atau minuman beralkohol.

Usulan Sofjan itu pun mendapat tanggapan positif dari kalangan legislator Senayan.
Anggota Komisi XI DPR RI, Hendrawan Supratikno menegaskan, usulan memperluas tax base merupakan langkah bagus. Dengan eksetensifikasi pajak ini, penerimaan negara menjadi lebih bervariasi karena dengan sumber-sumber pajak yang semakin beragam.

“Tentu saja saya setuju. Dengan target penerimaan perpajakan lebih dari Rp 1.400 triliun, tentu pemerintah dituntut kreatif. Bukan menyasar pada sumber-sumber pajak yang sudah ada,” kata politikus PDI Perjuangan ini seperti yang dilansir RM Online (Grup JPNN.com).

Selama ini, pemerintah hanya mengandalkan penerimaan pajak dari sektor-sektor tradisional, seperti cukai tembakau, pajak migas dan komoditas. Padahal, ruang untuk melakukan ektensifikasi pajak cukup memadai.

Anggota Komisi XI DPR lainnya, Mukhamad Misbakhun menjelaskan, sejatinya usulan Sofjan itu sejalan dengan UU 11/1995 yang diamandemen UU 39/2007 tentang Cukai. Salah satu titah dari beleid ini adalah mempermudah langkah ekstensifikasi oleh pemerintah.

“Pemerintah Jokowi harus menangkap sinyal ini sebagai sumber alternatif penerimaan Negara,” ujar Misbakhun, Senin (18/5).

Menurutnya, salah satu objek untuk menggenjot penerimaan negara adalah pengenaan cukai bagi minuman bersoda. Berdasarkan informasi, kata Misbakhun, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sudah menyelesaikan formula penghitungan cukai pada minuman soda.

“Rencana ekstensifikasi objek kena cukai tersebut sudah disampaikan Kementerian Keuangan sejak 2012 lalu. Namun kenapa belum kelihatan progres yang nyata?,” tanyanya.

Menurut politisi Golkar ini, ada strategi-strategi yang harus ditempuh pemerintah agar rencana pengenaan cukai minuman ringan berkarbonasi bisa terlaksana. Pertama, pendefinisian minuman ringan berkarbonasi harus jelas mengacu pasal 2 UU Cukai, agar landasan pengenaan cukai benar secara material.

Dikatakannya, bahan adiktif yang terkandung dalam minuman ringan berkarbonasi terdiri pemanis buatan, zat pewarna, dan zat pengawet. Komposisi bahan-bahan tersebut, banyak yang dapat menimbukan dampak negatif bagi kesehatan. Akibat konsumsi berlebihan, katanya, dapat menyebabkan obesitas, diabetes mellitus, batu ginjal, osteoporosis, dan kerusakan gigi.

“Fakta ilmiah ini sebenarnya sangat kuat untuk mendasari pengenaan cukai minuman ringan berkarbonasi,” ujar Sekretaris Panja Penerimaan Negara Komisi XI DPR ini.

Strategi berikut, lanjut Misbakhun, faktor kelaziman pengenaanya di negara lain. UU 39/2007 cukup visioner karena mengadopsi praktik dan teori cukai internasional. Karena itu, apa yang dipungut cukai di negara maju secara prinsip dapat dikenakan juga di Indonesia. Sebut saja negara-negara yang mengenakan cukai minuman bersoda, seperti Finlandia, Perancis, Jerman, India, Jepang, dan Amerika.

Baca juga: Pelatihan Cukai di Bushindo Training Center