Kebijakan Ekspor – Impor Belum Berpihak Kepada Pelaku UKM
YOGYA (KRjogja.com) – Kebijakan ekspor-impor dari pemerintah masih belum memihak kepada pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) di tanah air. Ongkos ekspor Indonesia masih terlalu tinggi, sementara ongkos impornya sangat murah.
“Tingginya ongkos ekspor tentu membebani pelaku UKM untuk mengekspor barangnya ke keluar negeri,” kata Peneliti ASEAN Studies Center Fisipol UGM M Prayoga Permana MPP dalam seminar series bertema ‘Strategi Penguatan UKM dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)’ di Pusat Studi Pariwisata UGM Yogyakarta, Selasa (14/04/2015).
Seperti diketahui ongkos ekspor produk-produk Indonesia merupakan yang ketiga tertinggi di ASEAN. Sebaliknya ongkos impor Indonesia merupakan yang termurah ketiga di ASEAN.
Dengan kondisi seperti ini, orang akan lebih memilih mengimpor barang dari luar negeri daripada mengekspor produk, akibatnya barang-barang asing membanjiri pasar domestik. Terlebih akhir tahun 2015 akan diberlakukan MEA. Dan dari survei yang dilakukan, 69 persen pelaku UKM di Indonesia tidak mengetahui apa itu MEA. “Tanpa penguatan sektor UKM, Indonesia menjadi sasaran empuk produk-produk asing,” katanya.
Menurut Prayoga, perdagangan bebas ASEAN sebenarnya telah diterapkan sejak 2010 saat disepakati ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA). Dan sejak saat itu, nilai perdagangan Indonesia ke ASEAN terus mengalami penurunan. “Indonesia masih lebih banyak mengimpor barang dari ASEAN daripada mengekpornya,” katanya.
Prayoga juga memprediksi, bahwa dampak dari penerapan MEA tidak akan langsung bisa dirasakan oleh masyarakat ASEAN termasuk Indonesia. Masih banyak tantangan yang dihadapi di level regional antara lain problem domestik di negara-negara anggota ASEAN sulit diselesaikan dengan mekanisme regional.
Ketidakmampuan sekretariat ASEAN menjadi lokomotif percepatan MEA serta adanya negara angota ASEAN yang belum berkomitmen terhadap mekanisme kerjasama dalam skema liberalisasi di ASEAN. Presiden Joko Widodo sendiri telah berkomitmen untuk fokus pada relasi yang menguntungkan. Dengan demikian perjanjian multilateral dalam ASEAN tidak boleh mengancam kepentingan nasional.
Meskipun demikian, kata Prayoga, dengan pertumbuhan ekonomi yang selalu stabil dan cenderung tinggi sejak tahun 2013, penerapan MEA ini menjadi peluang ekonomi bagi Indonesia. Terlebih struktur ekonomi konsumsi Indonesia tertinggi mencapai 53 persen. Belum lagi ditambah pertumbuhan kelas menengah dan bonus demografi serta persepsi pasar Idonesia paling optimis di dunia. “Indonesia mempunyai modal berharga untuk menghadapi MEA ini,” katanya.