Konsep Tarif

Dalam ilmu kepabeanan istilah tarif didefinisikan sebagai klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk atau bea keluar. Terdapat dua muatan utama dalam pengertian tarif, yang pertama adalah klasifikasi barang. Muatan kedua adalah besarnya pembebanan bea masuk atau bea keluar yang dinyatakan dalam persentase (%) tertentu atau dalam rupiah tertentu.

Untuk memudahkan penetapan besarnya bea masuk atau bea keluar, barang impor maupun ekspor diklasifikasi dalam suatu daftar penggolongan barang yang dibuat secara sistematis dengan tujuan untuk mempermudah pentarifan dalam perdagangan dan berlaku secara internasional. Daftar penggolongan barang yang dibuat secara sistematis ini disebut dengan Harmonized Commodity Description and Coding System (HS). Dari HS inilah selanjutnya disusun Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI).

Penggunaan BTBMI yang mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 35 Tahun 1993, dimana Indonesia telah menjadi contracting party dari International Convention on the Harmonized Description and Coding System atau sering disebut sebagai HS Convention. Sebagai salah satu contracting party dari HS Convention, Indonesia telah beberapa kali menerbitkan dan menyempurnakan BTBMI, terakhir dalam bentuk BTBMI 2007 yang disusun berdasarkan Amandemen HS 2006.

Saat ini Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI) berubah nama menjadi Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI). Tidak ada perbedaan dalam cara penggolongan barang pada BTBMI dan BTKI, yang berbeda adalah bila BTBMI hanya untuk pengklasifikasian barang impor, pada BTKI baik barang impor maupun barang ekspor dapat diklasifikasikan di buku ini. Di dalam buku tarif tersebut selain klasifikasi barang juga telah dicantumkan besarnya beban bea masuk yang dikenakan atas suatu barang impor.

Cara pengenaan tarif bea masuk dapat ditentukan menggunakan tiga pendekatan, yaitu:

  • Pertama, tarif advalorum (persentase). Pada model tarif advalorum, bea masuk dikenakan dengan menentukan persentase (%) tertentu dari nilai pabean atas barang yang diimpor. Misalnya buah apel dikenakan bea masuk sebesar 5%. Maka untuk mengetahui berapa bea masuk yang harus dibayar, harus diketahui berapa nilai pabean atas barang tersebut, selanjutnya tarif dikalikan dengan nilai pabean.
  • Kedua, tarif spesifik. Pada model spesifik, bea masuk dikenakan dengan menentukan besaran bea masuk setiap satuan barang yang diimpor. Misalnya beras dikenakan bea masuk sebesar Rp. 550,- per kilogram. Maka untuk mengetahui berapa bea masuk yang harus dibayar, cukup mengalikan besarnya tarif per satuan barang dengan jumlah satuan barang.
  • Ketiga, gabungan advalorum dan spesifik. Pada model gabungan ini, bea masuk dikenakan dengan mengkombinasikan tarif persentase dan tarif spesifik sekaligus pada suatu barang impor. Pada praktiknya saat ini Indonesia tidak menerapkan tarif gabungan. Tarif spesifik pun hanya diterapkan untuk beberapa jenis barang impor sehingga mayoritas barang impor saat ini menggunakan tarif advalorum.

Untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari kesewenang-wenangan pengenaan tarif, diatur bahwa barang impor dipungut bea masuk berdasarkan tarif setinggi-tingginya empat puluh persen dari nilai pabean untuk perhitungan bea masuk. Namun dalam hal tertentu diberikan pengecualian atas pembatasan besaran tarif tersebut dalam rangka skema persetujuan dengan organisasi perdagangan dunia (WTO), dimana untuk barang-barang tertentu dapat dikenakan tarif berbeda dari tarif paling tinggi sebesar 40%.

Besarnya persentase tarif barang impor ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Hal ini untuk mengantisipasi perkembangan perdagangan internasional yang demikian cepat dan dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, berupa pendelegasian wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan besarnya tarif bea masuk setiap jenis barang dan melakukan perubahan terhadap besarnya tarif tersebut.

Atas suatu barang impor, selain dikenakan bea masuk yang berlaku secara umum sebagaimana dijelaskan di atas, dapat juga dikenakan bea masuk tambahan. Bea masuk tambahan ini dikenakan karena terdapat alasan-alasan khusus pada suatu impor barang yang dapat mengancam perekonomian nasional. Bea masuk tambahan ini meliputi bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan.

1. Bea Masuk Antidumping

Bea masuk antidumping dikenakan atas barang impor yang harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya (dumping). Bea masuk tambahan ini dikenakan bila dampak dari adanya dumping menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut, mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut, dan menghalangi pengembangan indsutri barang sejenis di dalam negeri.

2. Bea Masuk Imbalan

Bea Masuk Imbalan dikenakan terhadap barang impor yang ditemukan adanya subsidi yang diberikan oleh negara pengekspor. Bea masuk ini dikenakan bilamana dampak dari impor barang tersebut menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut, mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut, dan menghalangi pengembangan indsutri barang sejenis di dalam negeri.

3. Bea Masuk Tindakan Pengamanan (Safe Guard)

Bea masuk tindakan pengamanan dikenakan terhadap barang impor dalam hal terdapat lonjakan barang impor baik secara absolut maupun relatif, dimana dari lonjakan barang impor tersebut menyebabkan kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut dan/atau barang yang secara langsung bersaing atau mengancam terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dan/atau barang yang secara langsung bersaing.

4. Bea Masuk Pembalasan

Bea masuk pembalasan dikenakan terhadap barang impor yang berasal dari negara yang memperlakukan barang ekspor Indonesia secara diskriminatif. Bea masuk ini dikenakan sebagai bentuk perlindungan negara atas produk dalam negeri yang diperlakukan secara tidak adil di suatu negara. Perlakuan tidak adil atas produk yang kita ekspor dapat mengakibatkan kerugian serius pada industri dalam negeri.