Setop Ego Sektoral demi Harmonisasi Tarif

Ego sektoral adalah penyakit bangsa yang sulit disembuhkan. Sejak Republik ini berdiri, ego sektoral sudah menjangkiti kementerian dan lembaga-lembaga pemerintah. Berbagai upaya telah dilakukan para pemimpin negeri ini untuk menghapusnya, dari mulai membentuk tim koordinasi, sampai merombak dan menggabung kementerian. Toh, penyakit itu tetap saja ada, dari masa ke masa, dari era pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang lain.

Tak salah jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memimpin sidang kabinet pertamanya Oktober lalu wanti-wanti meminta para menteri bekerja secara lintas sektoral, tidak hanya mementingkan kementerian yang dipimpinnya. Jokowi bahkan secara terbuka menyatakan tidak ada visi menteri, yang ada hanya program operasional menteri, sebab tugas para menteri adalah menjalankan visi-misi dan program utama presiden.

Kalau mau jujur, ego sektoral itulah yang sesungguhnya menyebabkan program-program pemerintah selama ini sulit diimplementasikan. Ego sektoral tak hanya terjadi antara kementerian fiskal (Kementerian Keuangan) dan kementerian di sektor produksi (terutama Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM), tapi juga antarkementerian di sektor produksi. Akibatnya, program-program kementerian saling bertabrakan dan jalan di tempat.

Penetapan tarif bea masuk (BM), pajak ekspor (PE) atau bea keluar (BK), pajak penjualan barang mewah (PPnBM), dan pajak pertambahan nilai (PPN) adalah contoh paling konkret tentang kuatnya ego sektoral di kalangan kementerian. Karena tidak ada kesatuan visi, komposisi tarif menjadi tidak harmonis. Akibatnya, tujuan kebijakan tarif–untuk mendukung produksi dalam negeri dan mendorong ekspor, sekaligus memenuhi kebutuhan konsumen dan melindungi pasar domestik–tidak tercapai. Kesan yang muncul selama ini, tarif hanya digunakan sebagai instrumen untuk menambah penerimaan negara.

Kita paham, Kementerian Keuangan kerepotan menetapkan harmonisasi tarif karena kementerian-kementerian di sektor produksi memiliki visi yang berbeda-beda. Ada kementerian yang meminta tarif BM bahan baku dipangkas serendah-rendahnya untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan di dalam negeri dan mencegah penyelundupan. Tapi, kementerian lain menghendaki sebaliknya, dengan alasan tarif BM yang rendah akan mematikan produsen bahan baku di dalam negeri dan memicu banjir impor.

Kementerian Keuangan juga dibuat galau manakala harus memilih sektor hulu, antara, atau hilir. Sebagai contoh, demi meningkatkan kesejahteraan petani dan mendongkrak produksi, Kementerian Pertanian menghendaki tarif PE atau BK biji kakao serendah mungkin. Kebijakan ini ditentang Kementerian Perindustrian karena mengakibatkan industri kakao olahan (cokelat) di dalam negeri kehabisan bahan baku. Di sisi lain, Kementerian Perdagangan justru mengusulkan penghapusan BM impor biji kakao agar kebutuhan industri pengolahan di dalam negeri terpenuhi.

Untuk mereduksi ego sektoral di kalangan kementerian, pemerintah sejak era Orde Baru sejatinya sudah menempuh sejumlah langkah taktis, di antaranya membentuk Tim Tarif atau tim lintas sektoral yang secara khusus mengurus kebijakan tarif. Namun, nyatanya, Tim Tarif belum bisa bekerja maksimal. Ego sektoral tetap kental. Demi mengamankan target masing-masing, para menteri seolah lupa bahwa mereka harus menjunjung tinggi dan mendahulukan kepentingan nasional di atas segala-galanya.

Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, kita berharap para menteri benar-benar bekerja secara lintas sektoral. Untuk itu, kita menyambut baik keputusan menteri perdagangan yang menjadikan harmonisasi tarif sebagai salah satu program jangka pendeknya. Dalam konteks ini, tentu menteri keuangan selaku “penjaga gawang” di bidang tarif dituntut memiliki visi sekomprehensif mungkin tentang kondisi riil di lapangan agar kebijakan tarif memberikan rasa adil bagi semua pihak, dengan tetap menjadikan kepentingan nasional di atas segala-galanya. Kesan bahwa tarif semata-mata hanya instrumen untuk menambah penerimaan negara, tidak boleh muncul.

Kita sepakat bahwa harmonisasi tarif bukan hanya tanggung jawab menteri keuangan atau menteri perdagangan, melainkan seluruh menteri di Kabinet Kerja. Hanya dengan melibatkan seluruh menteri, tujuan kebijakan tarif–untuk mendukung produksi dalam negeri, mendorong ekspor, memenuhi kebutuhan konsumen, melindungi pasar domestik, dan menambah penerimaan negara–dapat dicapai secara proporsional.

Di atas itu semua, kita sependapat bahwa ego sektoral harus dijadikan musuh bersama, sebab ego sektoral sejatinya adalah parasit yang akan terus menggerogoti bangsa ini. Ego sektoral tak hanya membuat impoten program-program pemerintah, tapi juga mendorong sifat ingin menang sendiri, tidak toleran, rentan menimbulkan perpecahan, dan abai terhadap nasib bangsa.

Sumber: Investor Daily

Leave a reply

Your email address will not be published.

You may use these HTML tags and attributes:

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>

CAPTCHA *